Entah apa yang membuat akhir-akhir ini menjadi gemar membicarakan rasa. Rasa, apa itu rasa? Sebuah karunia dari Tuhan yang begitu kaya. Karena rasa, aku dapat mengetahui gejolak-gejolak di dada baik rasa senang maupun sebaliknya.
Berbicara tentang rasa, apa tidak sebaiknya ketika rasa benar-benar dikendalikan sehingga dapat tidak terlalu liar dalam mengendalikan suasana hati seseorang? atau bahkan mengendalikan seseorang dalam mengambil sebuah tindakan serta dalam mengambil keputusan tentang sebuah permasalahan. Semua itu karena rasa memang luar biasa.
Hidup dikendalikan oleh rasa itu ada baiknya. Baiknya yaitu menjadi seorang yang memiliki simpati dan empati dan peka (mungkin). Akan tetapi setiap hal memiliki dua sisi yang berbeda. Ada hal yang negatif juga dari rasa yang begitu dominan dari seseorang yaitu rasa itu dapat melumpuhkan logika karena segalanya didominasi oleh rasa.
Paham maksudnya?
Pahami saja, sesekali gunakan logikamu jangan melulu mengandalkan perasaanmu.
Lantas baiknya seperti apa? Terlalu menonjolkan logika? Ah, itu hanya akan membuat seseorang menjadi terlalu kaku. Bukan seperti itu yang tepat.
Baiknya adalah saling seimbang antara logika dan rasa. Mengapa? agar keduanya berjalan beriringan. Ketika perasaan tak bisa diandalkan, dapat menggunakan logika untuk membantu kembalinya rasa yang lebih rasional dalam suatu keadaan. Ketika logika sudah berada di luar nalar, dapat menghidupkan rasa agar lebih nalar dan lebih manusiawi. Terkadang, manusia hanya dominan menggunakan satu hal saja. Begitu juga denganku di suatu keadaan.
Lelah terus menerus terbelenggu dengan rasa yang begitu membuat hati merasa tak tenang, gelisah, tak tahu arah melangkah. Rasanya memang sudah tidak waras ketika logika berulangkali menertawakan hati yang begitu lemah. Kadang, merasa benar-benar dibodohi oleh sebuah rasa yang pada akhirnya hanya menciptakan resah dan gelisah.
Ketika rasa yang ditunjukkan dan diberikan tak kunjung mendapat balasan atau ketika rasa yang dengan tulis diberikan namun disia-siakan, apa tidak lebih baik jika berhenti saja tak usah memberikan lagi rasa yang dengan terang-terangan diabaikan dan disia-siakan? Logika berkata demikian dan logika memiliki peran yang dapat dinalar. Akan tetapi, ketika sebuah rasa masih saja tidak rela benar-benar berhenti, lantas apa yang akan terjadi?
Ah sungguh bodoh diri ini. Tak bisa terus-terusan seperti ini jika memang tidak mau dipermainkan lagi. Sudah bosan, bukan? Logika ini terus saja memaki.
Kini saatnya benar-benar belajar dan saatnya logika berkata tentang rasa. Coba rasakan bagaimana rasanya ketika benar-benar tulus memberi namun tak sekalipun di hadapannya tak berarti? Coba rasakan bagaimana rasanya saat tulus menyayangi namun akhirnya hanya hati yang tersakiti? Coba rasakan bagaimana dengan telaten setiap hari menjadi bagian yang tak pernah sedetikpun absen di setiap harinya namun pada akhirnya disia-siakan tanpa arti?
Semua terasa menyakitkan, pedih, tak berarti, mengecewakan dan benar-benar menyedihkan.
Lantas, saat hal itu sudah dirasakan dan sudah dialami maka selanjutnya bagaimana? Apakah akan tetap berada dalam situasi yang sama dan akan terus menerus merelakan logika menertawakan kebodohan hati? Mau sampai kapan seperti ini?
Hal yang pantas dilakukan adalah coba sekali mengandalkan logika dan menggunakan waras untuk mengambil sebuah keputusan serta suatu tindakan. Tidak maukan selamanya dianggap bodoh dan lemah karena terlalu mengandalkan rasa? Maka jawabannya adalah TINGGALKAN, IKHLASKAN, DAN MELUPAKAN SECARA PERLAHAN.
Buat apa sih mempertahankan yang terlalu sering menyakiti dan mengecewakan? Tidak ada gunanya. Ada sih beberapa guna dari hal itu yaitu menjadi lebih kuat hati dan lebih pintar dalam menaruh hati untuk seseorang. Tentunya, bukan pada orang yang salah kembali. Sudah cukup bukan menitipkan hati pada orang yang tidak tepat?
Sekali lagi, jangan hanya mengandalkan rasa karena terkadang itu saja tidak cukup baik untuk dijalani. Sesekali biarkan logika yang berkata rasa jika memang semua sudah di luar batas kendali hati. Jangan biarkan rasa terus-terusan mengendalikanmu. Sesekali, imbangkan rasa dan logika agar kamu tidak terus terbelunggu dalam jebakan rasa yang tak mampu kau kendalikan sendiri.
Kamu berhak hidup bahagia meskipun tak lagi memberikan rasa pada dia yang tak tahu diri atau pada dia yang hanya membuat rasamu itu sia-sia. Dia bukan segalanya untuk kebahagiaanmu karena dia belum tentu bahagia ketika bersamamu. Sadarlah, apa yang dia perbuat, sama sekali tidak mencerminkan seseorang yang benar-benar membutuhkanmu atau benar-benar menaruh rasa untukmu.
Mangkannya, buka pikiranmu. Selama ini, pikiranmu dikuasai rasamu yang hanya tertuju pada dia namun rasamu itu buta. Rasamu tidak benar-benar tahu tentang rasanya yang kau anggap layak kau perjuangkan. Semua salah. Dia mungkin lebih bahagia dengan orang lain atau dia mungkin hanya menganggapmu pelipur sunyi di kala sedang sendiri. Sadarlah wahai hati! Kau telah dikelabuhi ribuah kali!
"Jangan biarkan rasa melumpuhkan logika."